Tak perlu repot-repot, hanya dengan menuliskan perintah tertentu pada kotak percakapan, dalam waktu sekejap AI pada Chat GPT akan memberikan respon terhadap perintah yang kita berikan tersebut. Dari mulai menghasilkan teks, gambar, video, audio, hingga beragam jenis data dapat dilakukan oleh Chat GPT.
Meskipun dunia sudah terlebih dahulu mengenal teknologi serupa seperti mesin pencarian Google Search misalnya, tetapi kehadiran Chat GPT tetap menjadi revolusioner karena fitur perintah serta respon yang dihasilkan oleh Chat GPT lebih komunikatif dibanding mesin pencarian konvensional yang cenderung statis.
Luar biasanya lagi, hasil kerja yang dibuat melalui Chat GPT ini seringkali sulit dibedakan dengan hasil pekerjaan buatan manusia. Sampai-sampai beberapa universitas di luar negeri harus mengembangkan alat pendeteksi hasil pekerjaan AI untuk meminimalisir kecurangan yang dilakukan mahasiswanya saat mengerjakan tugas atau saat menyelesaikan serangkaian tes.
Berkaca pada fenomena di atas, lalu muncul pertanyaan apakah kehadiran teknologi AI ini sebetulnya merupakan sebuah disrupsi yang baik bagi perkembangan zaman atau justru menjadi ancaman bagi peradaban umat manusia? Mari kita coba bahas pada postingan kali ini.
Setelah penemuan tersebut ilmuwan-ilmuwan komputer pun mulai mempelajari dan mengembangkan konsep-konsep kecerdasan buatan. Pada periode tahun 1950 hingga tahun 1995 lebih tepatnya, konsep mengenai kecerdasan buatan dan metode pembelajaran mesin melalui neural network pun mulai ditemukan.
Sampai pada periode tahun 2000-an ilmuwan dan perusahaan komputer kenamaan dunia mulai berlomba menciptakan komputer-komputer pintar yang didesain untuk membandingkannya dengan kemampuan manusia dalam uji coba pertandingan catur atau tes kemampuan berpikir.
Hingga yang teranyar, sejarah penting perkembangan AI terbentuk setelah ditemukannya AI generatif seperti Chat GPT salah satunya pada sekitar tahun 2023 lalu. Kehadiran AI generatif ini diprediksi akan merupakan langkah besar terhadap terobosan-terobosan AI lain di masa depan.
Lahirnya Self Learning AI
Berkat perkembangan teknologi, AI yang semula sangat sederhana dan hanya bertujuan untuk mempelajari algoritma berpikir, kini telah berkembang menuju fase self learning artificial intelligence. AI pada fase ini memiliki kemampuan untuk mempelajari sesuatu dengan sendirinya sehingga dapat memperbaharui pengetahuan baru di dalamnya.
Kemampuan belajar yang dimaksud di atas bukanlah berarti AI mampu beradaptasi dan berpikir seperti manusia, melainkan AI dapat diajari melalui serangkaian metode (supervised atau unsupervised learning) dengan bantuan manusia untuk menambah direktori pengetahuan di dalamnya.
Contoh dari self learning AI adalah Chat GPT yang menggunakan model pembelajaran mesin neural networks dengan basis arsitektur transformer. Hal ini sesuai dengan singkatannya yaitu Generative Pre-Trained Transformers.
Neural networks transformer pada Chat GPT ini memanfaatkan dua modul di dalamnya yaitu encoder dan decoder. Encoder berfungsi untuk memproses kalimat perintah atau input dan menghasilkan representasi vektor untuk menangkap informasi secara kontekstual. Vektor-vektor representasi yang dihasilkan oleh encoder ini selanjutnya diproses oleh decoder yang akan memprediksi output dari perintah yang diberikan.
Model pembelajaran neural networks yang diterapkan pada Chat GPT saat ini sebetulnya terinspirasi dari proses biologis dalam otak manusia saat berpikir. Neural networks mencoba memodelkannya dalam bentuk algoritma dengan menirukan sistem kerja neuron-neuron pada otak kita saat mencoba mengidentifikasi sesuatu, mempertimbangkan pilihan, dan mengambil sebuah kesimpulan.
Melalui metode neural networks ini selanjutnya Chat GPT menerjemahkan perintah dan mempelajari keterkaitan maupun konteks dari penggalan-penggalan perintah yang diberikan. Misal kita memberi perintah "Apa warna air laut?" maka chat GPT akan memecah kalimat menjadi kata-kata lalu mencari seberapa besar keterkaitan antara kata warna, air laut, dan biru sesuai dengan pengetahuannya. Proses neural network selanjutnya terjadi hingga Chat GPT dapat menghasilkan kesimpulan bahwa air laut berwarna biru.
Teori Artificial General Intelligence (AGI)
Proses pembelajaran mesin pada AI terjadi secara berulang hingga membuat AI semakin lama menjadi semakin pintar dan akurasinya semakin baik. Lalu muncul pertanyaan apakah mungkin jika suatu saat AI dapat benar-benar berpikir layaknya manusia dan tak memerlukan lagi bantuan manusia untuk belajar?
Ya benar, terdapat beberapa teori yang menganggap hal tersebut dapat terjadi. AI pada tahap ini disebut dengan istilah Artificial General Intelligence (AGI). AI pada fase ini tidak memerlukan lagi bantuan manusia untuk belajar karena pola pikir mereka telah menyamai manusia. Bahkan mungkin AGI dapat menciptakan AI lain juga seperti yang manusia lakukan saat ini.
Saat AGI tak bisa dikendalikan, maka mereka tak dapat dihentikan, karena AGI dapat sewaktu-waktu memindahkan kecerdasannya ke media lain. Lalu bagaimana jika ternyata AGI ini benar tercipta dan berevolusi dengan mentransfer pikirannya ke dalam tubuh robot lalu memutuskan untuk menguasai bumi?
Beruntungnya hal itu hanyalah terjadi dalam film fiksi ilmiah saja ya Blavestie, untuk saat ini justru kehadiran AI dapat membantu menyelesaikan serangkaian permasalahan sosial yang terjadi di belahan dunia. AI saat ini nyatanya dapat membantu mempermudah pekerjaan manusia dalam berbagai aspek seperti pada proses otomatisasi, dunia pendidikan, dunia kemanan siber, bahkan pada aspek kesehatan.
Penerapan AI Pada Dunia Kesehatan dan Medis
Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa salah satu peran artificial intelligence adalah membantu manusia dalam dunia kesehatan dan medis. Melalui teknologi AI manusia dapat menganalisa jenis obat-obatan terbaru, melakukan analisa terhadap suatu penyakit, analisa rekam medis, bahkan pada manajemen fasilitas layanan kesehatan.
Penelitian pada tahun 2023 yang dilansir pada Sciences Advance menunjukan bahwa penggunaan AI generatif dapat menciptakan desain molekul yang mampu menangkal virus SARS-CoV-2 atau virus yang menyebabkan penyakit COVID-19. Melalui teknologi AI maka ilmuwan dapat menciptakan molekul penangkal yang bisa mengikat dua jenis protein virus COVID-19 sehingga dapat menghentikan penyebaran virus dalam tubuh manusia.
Penerapan AI lainnya adalah pada pemanfaatan
Rekam Medis Elektronik dengan teknologi AI seperti yang dikembangkan oleh salah satu penyedia
software rekam medis elektronik
eHealth.co.id misalnya. Melalui pemanfaatan AI, eHealth.co.id dapat melakukan diagnosa awal terhadap hasil pemeriksaan, keluhan, serta gejala dari pasien sehingga dapat diperoleh hasil diagnosa yang lebih cepat.
AI Sebagai Solusi Layanan Kesehatan
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 24 Tahun 2022 yang mengharuskan setiap fasilitas pelayanan kesehatan menerapkan rekam medis elektronik (RME), maka kehadiran AI dapat menjadi salah satu solusi penerapan RME karena dapat mendukung hasil RME menjadi lebih cepat dan akurat.
Berdasarkan data Kemenkes RI yang disampaikan Technical Advisor DTO Kemenkes RI dr. Gregorius Bimantoro dalam webinar yang bertajuk "Urgensi RME Terintegrasi SATUSEHAT Sesuai Peraturan yang Berlaku", per bulan Februari 2024 tercatat baru 23.870 faskes yang terdaftar di platform SATUSEHAT atau sudah menggunakan RME, jumlah ini setara dengan 42,55 persen dari 56.093 target faskes yang ditetapkan.
Hal ini tentu menjadi perhatian mengingat jumlahnya masih cukup jauh dari target yang ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, guna mendukung percepatan program pemerintah tersebut, peran AI dalam layanan kesehatan dapat menjadi salah satu solusinya.
Saat ini di Indonesia sendiri telah terdapat developer software klinik dan RME yang sudah didukung oleh AI seperti pada eHealth.co.id salah satunya. Berbeda dengan RME biasa, eHealth.co.id telah didukung oleh AI sehingga kualitas hasil RME lebih baik dari biasanya. Memang ada bedanya ya RME yang telah didukung oleh AI dibandingkan dengan RME biasanya? Tentu saja, berikut adalah penjelasannya.
1. Proses Diagnosis Pasien Menjadi Lebih Cepat dan Akurat
Berkat dukungan AI kini proses diagnosis pasien dapat dilakukan lebih cepat dan akurat. AI dapat menjalankan serangkaian prosedur untuk melakukan analisis terhadap data hasil pemeriksaan, gejala, serta keluhan dari pasien. Melalui data-data tersebut maka AI dapat mengkategorikan keluhan dan jenis penyakit dari pasien sehingga proses pembuatan RME dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih cepat.
Jika menggunakan aplikasi dari eHealth.co.id, maka AI di dalamnya dapat langsung mengklasifikasikan jenis penyakit yang diderita pasien sekaligus menerbitkan kode ICD-10 (International Code of Disease) atau kode statistik yang ditetapkan WHO untuk mengklasifikasikan penyakit tertentu. Melalui kode-kode tersebut maka tenaga medis akan lebih mudah menentukan diagnosis terhadap pasien.
Selain itu teknologi AI pada eHealth.co.id ini juga mendukung analisa terhadap data kompleks dari berbagai sumber pemeriksaan laboratorium, semisal hasil tes darah, tes urin, CT scan, maupun MRI. Data-data ini selanjutnya dianalisa dengan memadukan catatan medis dan gejala yang dilaporkan oleh pasien.
Dengan menggunakan kombinasi antara machine learning dan deep learning, AI pada eHealth.co.id dapat melakukan proses analisis, mengidentifikasi pola-pola yang mungkin tak dapat dideteksi dalam waktu singkat oleh manusia. Selanjutnya melalui deep learning juga AI akan mengenali hubungan antara kondisi kesehatan pasien dengan kemungkinan faktor penyebabnya.
2. Meningkatkan Efisiensi Kerja dan Kualitas Pelayanan
Dikarenakan proses diagnosis dapat dilakukan secara otomatis oleh bantuan AI, maka pelayanan medis yang diberikan kepada pasien lebih menghemat waktu dan tenaga. Sehingga tenaga medis dapat fokus mengerjakan aspek lain dari proses perawatan pasien.
Karena proses diagnosa dan pelayanan pasien dapat dilakukan lebih cepat dan akurat maka kualitas pelayanan dari faskes dan kepuasan pasien dapat meningkat. Pada akhirnya tingkat kepercayaan pasien terhadap suatu fasilitas pelayanan kesehatan pun menjadi semakin meningkat.
Manajemen Risiko AI Pada Layanan Kesehatan
Selain memberikan keuntungan, penggunaan AI pada RME juga dapat menimbulkan beberapa resiko yang tentunya harus dimitigasi dengan baik. Risiko tersebut diantaranya adalah terkait akurasi atau keterbatasan model AI, serta jaminan privasi atau keamanan data pasien.
1. Akurasi dan Keterbatasan Model AI
Penggunaan AI memang memberikan keuntungan terhadap prosedur penerbitan RME karena proses akan dilakukan relatif lebih cepat. Namun perlu diingat bahwa kemampuan AI juga memiliki keterbatasan tersendiri seperti sejauh apa tingkat akurasi dan presisi dari model. Karena jika tidak dicermati maka model yang dihasilkan bisa jadi tidak akurat atau bahkan overfitting.
Meskipun keputusan akhir tetaplah berada pada dokter sebagai penentu tindakan medis, namun untuk memastikan tingkat akurasi dan presisi yang baik, seperti pada eHealth.co.id misalnya, AI harus selalu diperbaharui dengan pengetahuan medis terbaru. Dengan begitu akurasi dan presisi AI akan menjadi lebih baik dan mengurangi kemungkinan diagnosa yang salah, sehingga dapat membantu dokter dalam mengambil keputusan yang tepat saat pada kondisi yang kritis.
2. Jaminan Privasi dan Keamanan Data Pasien
Risiko selanjutnya yang dapat ditimbulkan adalah jaminan privasi dan keamanan data pasien. Rekam medis dengan menggunakan basis elektronik maka akan memerlukan basis data untuk merekam dan menyimpan data pasien. Oleh karenanya diperlukan sistem keamanan yang terstandarisasi agar dapat menghindari kemungkinan kebocoran data dan serangan siber.
Seperti yang dilakukan oleh eHealth.co.id contohnya, untuk memastikan data pasien aman eHealth.co.id telah menerapkan standar keamanan data internasional yang telah teruji. Dengan begitu kita dapat meminimalisir risiko yang ditimbulkan dari penggunaan AI pada RME seperti kebocoran data salah satunya. Selain itu RME menggunakan AI pada eHealth.co.id juga telah terintegrasi dengan SATUSEHAT dan BPJS Kesehatan jadi data kita dapat langsung terhubung dengan platform lainnya tanpa perlu proses registrasi ulang dan proses input secara manual.
Jadi apakah AI ini merupakan disrupsi teknologi yang baik ataukah sebaliknya? Semua bergantung bagaimana cara kita menyikapi kehadirannya serta memitigasi risiko yang dapat ditimbulkan dari penggunaannya. Selain itu, dalam menyikapi kehadiran AI ini ada baiknya kita untuk menghindari sifat apatis dan haruslah bersikap lebih adaptif terhadap kehadiran teknologi ini agar dapat mengikuti perkembangan serta tidak mudah tergantikan oleh AI di masa depan.
Sebagaimana sebuah quotes yang datang dari Sydney J. Harris seorang jurnalis Amerika Serikat yang mengatakan bahwa suatu hal yang dikhawatirkan pada umat manusia adalah bukanlah komputer yang mulai berpikir layaknya manusia, melainkan manusia yang berpikir layaknya komputer. Oleh karenanya kita harus selalu berusaha beradaptasi dalam menghadapi perkembangan teknologi ya Blavestie.
Sekian penjelasan seputar Artificial Intelligence, sejarahnya, dan juga penerapannya. Mudah-mudahan dapat menambah informasi dan wawasan kalian semua ya Blavestie, dan sampai jumpa pada postingan lainnya.
0 Komentar